Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

hudeo beusare mate beu sajan

hudeo beusare mate beu sajan

Selasa, 27 Januari 2015

Makalah Ulumul Hadist

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat prihatin. Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik alasannya, karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh, ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang biasa ia bisa bubar.
Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat sebagai penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang menjadikannya ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia dijarh?
Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudahkah ia menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan sudah barang tentu tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan makalah ini penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan seputar pembasan Al Jarh dan At Ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Untuk memberikan sedikit gambaran perlu saya sampaikan pengertian ilmu Al Jarh dan At Ta'dil. Ilmu Al Jarh dan At Ta'dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penetapan adil dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

B.    Rumusan Masalah
1.      Apakah ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu?
2.      Bagaimana manfaat mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu?
3.      Bagaimana metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi ?
4.      Bagaimanakah Syarat-syarat menta’dilkan dan mentajrihkan rawi?
5.      Bagaimanakah Pertentangan antara jarh dan ta’dil ?
6.      Bagaimanakah lafaz-lafaznya ?

C.   Tujuan Pembahasan

Makalah ini merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan pengetahuan pemakalah serta  pembaca dan  aktivitas kegiatan belajar mengajar di perguruan tingi. Sehingga pemakalah serta pembaca dapat mengerti pengertian tentang Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil dan cara mengetahuinya.
















BAB II
PEMBAHASAN
ILMU AL-JARH WA TA’DIL

A.      Pengertian al- jarh wa ta’dil
Ilmu al-jarh dari segi bahasa berarti luka atau cacat adalah ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafal tertentu.
Menurut para ulama ilmu al- jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu. [1]
            Ilmu al- jarh wa ta’dil pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.[2]
a.       Al-Jarh
Secara bahasa Al Jarh berasal dari kata Jaraha. Bia dikatakan Jarahahu bilisanihi, artinya mencelanya atau menghinanya.
Al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke adilannya, merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya hingga kemudian ditolak.
At Tajrih adalah memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan dha'if riwayatnya.[3]
1). Syarat-syarat Dibolehkannya Jarh
Dalam Islam jarh dibolehkan. Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya jarh. Walaupun ada beberapa ulama' yang berpendapat keharamannya. Namun menurut jumhur ulama dibolehkan, bahkan wajib dalam kondisi tertentu, dengan dalil :
1. Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." — Al Hujuraat: 6
Dalam ayat ini Allah mewajibkan tabayun terhadap kabar yang dibawa orang fasik.
2. Nabi telah menjarh beberapa orang.
Ketika datang Fathimah binti Qais kepada Nabi, maka ia mengabarkan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm telah melamarnya.
Bersabda Nabi:
أما أبو جهم فل يضع عن عاتقه ، وأما معاوية ، فصعلوك ل مال له
"Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), adapun Muawiyah, miskin tidak mempunyai harta."— HR. Muslim II/ 691
Dan masih banyak lagi riwayat yang mengunjukkan bahwa Nabi menjarh beberapa orang. Namun kebolehan jarh dalam islam bukan berarti kebolehan yang tanpa batas. Kebolehan jarh harus dengan beberapa syarat, yaitu:
  1. Jarh ditujukan untuk perawi atau yang lainnya, maka jangan menjarh mereka kecuali bila ada manfaatnya.
  2. Menjarh untuk kemaslahatan dan nasehat, bukan karena senang menampakkan cacat dan kekurangan orang lain, atau karena hawa nafsu.
  3. Seorang harus berpegang teguh dengan apa yang ia katakan.
  4. Menjarh sesuai dengan kebutuhan.
  5. Bila dalam biografi seorang perawi terkumpul pada dirinya antara jarh dan ta'il hendaknya ia menyebutkan keduanya secara bersamaan.

2). Syarat-syarat Penjarh
  1. Penjarh harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh seseorang dengan kebatilan.
  2. Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui keadaan perawi.
  3. Mengetahui sebab-sebab jarh.
  4. Tidak ta'ashub.

3). Tingkatan Penjarh
Dalam Kitab Taisir 'Ulum Al Hadits li Al Mudtadi'in, Amru Abdul Mun'im Salim, hlm 173-174 disebutkan:
Tingkatan penjarh sebagaimana pada tingkatan penta'dil diatas, yaitu:
  1. Mutasyadid dalam menjarh, seperti Abu Hatim Ar Razi dan Al Jauzajani.
  2. Musrifin (terlalu mudah) dalam menjarh, seperti Abu Al Fath Muhammad bin Al Husain Al Azdi.
  3. Mu'tadil dalam menjarh, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur'ah Ar Razi, Ibnu Ma'in, Asy Syaikhani
b. At-Ta'dil
Menurut bahasa At-Ta’dil artinya meluruskan, membetulkan, dan membersihkan. Sedangkan menurut istilah  At-Ta’dil adalah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi, baik semua itu benar pada si rawi atau tidak. [4]
Al 'Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima berita dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits.
1).  Syarat-syarat Penta'dil
Para ulama' mensyaratkan dalam memberikan rekomendasi keadilan seseorang, syarat-syarat tersebut yaitu:
1.   Penta'dil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
2.   Penta'dil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan para perawi.
3.  Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau jarh(cacat).   Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti keberaan sebab-sebab tersebut.
4.   Tidak ta'ashub terhadap orang yang dita'dilnya, sehingga ia akan manta'dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.
 2). Tingkatan Penta'dil
Dalam Kitab Taisir 'Ulum Al Hadits li Al Mudtadi'in, Amru Abdul Mun'im Salim, hlm 160-161, menyebutkan penta'dil ada beberapa tingkatan:
1. Diantara ulama' ada yang mutasahil dalam ta'dil (terlalu mudah member rekomendasi      keadilan).

Maka tingkat yang pertama ini tidak diterima bila ia memberikan rekomendasi tsiqah kepada seseorang, kecuali bila ia mengetahui. Diantara ulama' yang mu'tadil dalam ta'dil, yaitu Imam Muhammad bin Ishaq bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya, Ad Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.
2. Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang perawi).

Untuk yang kedua ini ta'dilnya dipegang erat-erat, apalagi terhadap perawi yang diperselisihkan. Diantara para ulama' yang mutasyadid adalah Abu Hatim Ar Razi, Al Jauzajani dan An Nasa'i. Dikatakan, Ibnu Ma'in juga.
3.      Mu'tadil (sikap pertengahan).
Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan diterima, dan tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama' yang termasuk mu'tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur'ah Ar Razi, Ibnu Ma'in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi.

B.       Manfaat al- jarh wa ta’dil
Ilmu al- jarh wa ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan pabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.[5]
Kalaulah Ilmu al- jarh wa ta’dil bermanfaat ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis itu sama. Padahal, perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal periwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.
Jika kita tidak mengetahui dengan benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu ( Maudhu’ )
Dengan mengetahui Ilmu al- jarh wa ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis shahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matanya.
C.      Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi dan Masalah-masalahnya

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan :

Pertama, dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang rawi yang adil ( bisy-syuhrah ). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu mereka sudah terkenal sebagai sebagai seorang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil ( tazkiyah ), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di ta’dilkan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.       Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Selain itu sifat adilnya perawi hadis bisa juga ditetapkan dengan salah satu cara, yaitu :
a.       Berdasarkan penilaian atau penetapan para ulama Ahlu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ( kritikus periwayat hadis) atau salah satu diantara mereka.
b.      Atau berdasarkan popularitas dikalangan ahli bahwa ia dikenal sebagai perawi adil. Dalam hal ini tidak membutuhkan penetapan atau penilaian ulama Ahlu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil. Perawi-perawi seperti ini diantaranya adalah imam empat, dua nama sufyan, al-Auza’i, dan lain-lain.[6]

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat di tempuh melalui dua jalan, yaitu :
a.       Berdasarkan berita tentang keteneran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.      Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orng laki-laki yang adil.
Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan pen-ta’dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya. Diantaranya adalah :
a.       Menurut pendapat yang shahih, penilaian adil terhadap perawi (men-ta’dil-kan) tanpa menyebutkan sebab-sebabnya bisa diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga sulit menyebutkannya.
b.      Penilailan cacat terhadap perawi (pen-ta’dil-an) tidak diterima tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena hal itu tidak sulit untuk dilakukan dan pada umumnya banyak orang berbeda-beda dalam mengemukakan sebab-sebab jarh, sehingga terkadang terjadi seseorang mentajrih perawi yang sebenarnya tidak cacat.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Sebagaimana berikut :
a.      Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat para fuqaha madinah.
b.      Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c.      Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[7]

D.       Syarat-Syarat Bagi Orang yang Men-Ta’dil-kan Dan Man-Tajrih-kan

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya, melainkan harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang menganggap orang lain cacat, malah ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Beranjak dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang maen-jarah-kan (Jarih), yaitu :
1.      Berilmu pengetahuan.
2.      Takwa.
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat).
4.      Jujur.
5.      Menjauhi fanatik golongan.
6.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan.

E.       Pertentangan Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Kadang didapatkan biografi salah satu perawi dalam jarh dan ta'dil bertentangan dikalangan ulama'. Ini ada beberapa macam:
1.   Pertentangan antara perkataan beberapa ulama, sebagian menta'dil dan sebagian yang lain    menjarhnya.
Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita harus membahasnya, pertama Apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila salah seorang ulama menjarh disebabkan ketidakdhabitannya, namun ulama yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia dita'dil. Bila salah seorang ulama menjarh disebabkan ikhtilathnya (kelalaiannya), dan ulama lain mentsiqahkannya, maka ada kemungkinan dia ta'dil sebelum ikhtilath, dan yang menjarh setelah ikhtilath, dan seterusnya. Namun bila tidak ada jalan keluarnya, maka ada beberapa pendapat dari para ulama :
  1. Bila jarh dijelaskan alasan-alasannya, maka lebih diutamakan dari pada ta'dil.
  2. Bila yang menta'dil lebih banyak dan lebih hafidz maka ia adil (ta'dil yang didahulukan).
  3. Bila jarh dijelaskan alasan-alasannya, tapi yang menta'dilnya lebih banyak, maka perinciannya adalah :

Menurut jumhur ulama', jarh yang dijelaskan alasan-alasannya lebih didahulukan dari pada ta'dil, baik yang menjarh lebih sedikit maupun lebih banyak. Sampai Ibnu Asakir menganggap ini adalah ijma'. Imam As Suyuthi berkata:"Ini adalah yang paling shalih menurut para fuqaha' dan ahli ushul. [At Tadrib Ar Rawi, I/309.]

Sebagian Imam merincinya, bila yang ta'dil lebih diutamakan bila yang menta'dilnya lebih banyak. Dikatakan ada juga bila yang menta'dil lebih hafidz maka ta'dil lebih diutamakan. Mereka berkata:"Karena yang pendapat kebanyakan lebih menguatkan dzan, dan mengamalkan yang lebih kuat dugaannya wajib.
Sebagian Imam berpendapat bila yang menta'dil lebih banyak dan lebih hafidz, sedang menjarh menjelaskan sebab-sebabnya, maka ini bertentangan, dan tidak bias ditarjih kecuali orang ahli dalam mentarjih.
Pertentangan perkataan seorang ulama', yang saling bertentangan dalam jarh dan ta'dil.
  1. Bila dua perkataan dari seorang Imam(tentang jarh dan ta'dil) terhadap seseorang bertentangan, maka perku diperhatikan beberapa hal berikut sebelum kita mengatakan bahkan keduanya bertentangan:

Apakah perkataan Imam tersebut secara mutlak atau nisbi? Karena kadang perkataan Imam tersebut bukan mutlak, tapi nisbi. Seperti bila ia ditanya tentang beberapa perawi, maka ia mentsiqahkan yang satu dan mendha'ifkan yang lain.

Padahal yang pertama bukan yang dimaksud, melainkan yang kedua, ini karena dinisbatkan orang yang menyertainya. Contoh, diriwayatkan dari Utsman Ad Darami, berkata:Aku telah bertanya kepada Ibnu Ma'in tentang Al Ala bin Abdurrahman dan bapaknya, bagaimana haidts keduanya? Maka dia berkata:"Tidak ada masalah." Aku berkata:"Mana yang lebih engkau sukai antara dia dan Sa'id Al Maqbari ? dia menjawab:"Sa'id lebih tsiqah dan Al Ala dha'if." Dengan demikian yang Ibnu Ma'in bermaksud mendh'ifkan Al Ala secara mutlak. Namun mendha'ifkan bila dibanding dengan Sa'id Al Maqbari.

Istilah dari seorang Imam dalam ta'dil dan tajrih. Kadang seorang Imam menyebutkan dengan dua lafadz untuk dua tingkatan (tajrih atau ta'dil)terhadap satu orang. Maka hal ini bulan ta'arudh dua lafadz dalam satu tingkatan(jarh atau ta'dil).

Pemakaian sighah jarh dan ta'dil. Ada kemungkinan salah dalam pemakaian sighah sehingga terjadi ta'arudh oleh seorang Imam. Seperti perkataan:"(fulan maud), para ulama' berbeda dalam membacanya, diantara mereka ada yang tidak mentasydid (dal), yang artinya hancur (halik). Ada juga yang mentasydid (dal) yang artinya bagus pelaksanaannya.

Berubahnya keadaan perawi, seorang imam menta'dilnya pada suatu saat, kemudian setelah ia melakukan perbuatan yang menyebabkan ia dijarh, maka ia dijarh.
Berubah ijtihad seorang imam, awalnya seorang imam berijtihad untuk menjarh, kemudian setelah itu menta'dil. Inilah yang banyak terjadi dalam perbedaan perkataan para imam dalam jarh dan ta'dil.

F. Lafazh-lafazh Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

a.    Tingkatan Jarh dan Lafadz-lafadznya
  1. Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan (yaitu jarh yang paling ringgan), contohnya fulan layyinun Al Hadits, atau dihi maqalun, (haditnya diperbincangkan).
  2. Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan terhadap perawi tidak dapat dijadikan hujjah, contoh fulan laa yuhtaj bihi(fulan tidak bisa dijadikan hujjah), atau dha'if, lahu manakir (haditsnya munkar).
  3. Lafadz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis haditsnya, contoh : fulan laa yuktab haditsuhu(fulan haditsnya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu(tidak boleh meriwayatkan darinya), fulan dha'if jiddan, wahn bi marattin(orang yang sering melakukan persangkaan).
  4. Lafadz yang menunjukan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadits. Contoh fulan muthamun bil kadzb(fulan dituduh berbuat dusta), fulan muthamun bi Al Wadh'i( fulan dituduh membuat hadits palsu), yasriqu Al Hadits(dia mencuri hadits), matruk, atau laisa bi tsiqah.
  5. Lafadz yang menunjukan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya, contoh kadzdzab atau dajjal, wadha'(pemalsu).
  6. Lafadz yang menunjukan adanya mubalaghoh (superlatif)dalam perbuatan dusta, contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb(dia pangkalnya kedustaan) dan lainnya.
  Hukum Tingkatan-tingkatan Tersebut adalah :

1.  Dua tingkatan yang pertama, maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, tapi boleh ditulis sebagai pelajaran saja.
2.  Empat tingkatan terakhir hadits hadits mereka tidak bisa dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis, bahkan tidak dapat dijadikan pelajaran dan tidak dianggap sama sekali.
b.  Tingkatan Ta'dil dan Lafadz-lafadznya
Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta'dil menjadi empat tingkatan. Lalu par ulama' telah menambah lagi dengan dua tingkatan, sehingga menjadi enam tingkatan:
  1. Lafadz menggunakan bentuk superlatif(mubalaghah) dalam ketsiqahan atau mengikuti wazan af'al., contoh: Fulanun Asbata An Nas( Fulan adalah manusia yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut( fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.
  2. Lafadz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
  3. Ungkapan yang menunjukan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: Tsiqah, tsabat, mutqin.
  4. Lafadz yang menunjukan ta'dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, contoh: shaduquna(orang yang jujur), ma'mun(terpercaya) laa ba'sa bih(tidal masalah atau tudak ada cacat).
  5. Lafadz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun selaan Contoh; Fulanun Syaikhun, rawiya 'anhu An Nas(manusia meriwayatkan darinya).
  6. Lafadz yang mendekati adanya jarh contoh:fulan shaleh hadits(lumayan) atau yuktabu haditsuhu(haditsnya dicatat).

Hukum Tingkatan-tingkatan Tersebut adalah :
  1. Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan yang lainnya.
  2. Untuk tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Meski demikian hadits mereka boleh ditulis untuk dikabarkan dan diuji kedhabitannya.
  3. Tingkatan ke enam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi haditsnya ditulis untuk dijadikan pelajaran bukan untuk diberitakan, karena ini memperlihatkan ketidakdhabitan mereka.








BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mudah dan gampang untuk menta'dil atau bahkan menjarhu seseorang. Sebab ada persyaratan yang sangat ketat untuk menjarh atau menta'dil seseorang tidak seenaknya saja kita bilang orang itu jarh atau ta'dil.
Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita harus membahasnya; pertama Apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila salah seorang ulama' menjarh disebabkan ketidakdhabitannya, namun ulama' yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia dita'dil. Bila salah seorang ulama' menjarh disebabkan ikhtilathnya (kelalaiannya), dan ulama' lain mentsiqahkannya, maka ada kemungkinan dia ta'dil sebelum ikhtilath, dan yang menjarh setelah ikhtilath, dan seterusnya.
Ilmu al-jarh dari segi bahasa berarti luka atau cacat adalah ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafal tertentu.
Ilmu al- jarh wa ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan : yaitu kepopuleran dan pujian.

B. Saran
          Saran kami kepada pembaca agar dapat mempelajari ilmu-ilmu hadist sebaik mungkin  terutama ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil agar kita dapat membedakan mana Jarh mana yang Ta’dil yang dapat kita jadikan pedoman dalam hidup kita.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja terutama bagi penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
.
Ø  A.  Qaddir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, CV.Dipenogoro. Bandung. 2005.
Ø  M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist, Pusaka Setia, Bandung. 2009.
Ø  H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Bandung. 1999.
Ø  Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist, Pustaka Setia. Bandung. 2004.
Ø  Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadist Kontemporer, PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2002.
Ø  Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, UIN-Malang Press.Malang.2007. Hal:



[1] H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia. Bandung. 1999. Hal : 51
[2] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist, Pustaka Setia. Bandung. 2004. Hal: 59

[3] Asy Syaikh Manna. Terjemah Mabahits fi Ulum Al Hadits. Hal:82
[4] A. Qaddir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, CV.Dipenogoro. Bandung. 2005. Hal :  445
[5] M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist, Pusaka Setia, Bandung. 2009. Hal:159

[6] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, UIN-Malang Press.Malang.2007. Hal:160

[7]  M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, .... ,Hal: 154

0 komentar:

Posting Komentar